Beberapa kata yang dapat
menggambarkan sebagian kekurangan pemerintahan orde baru adalah pemerintahan
yang otoriter, sentralistik kekuasaan dan pembangunan, serta maraknya kolusi,
korupsi dan nepotisme. Setelah era reformasi hingga kini, masih selalu saja ada
kekhawatiran mengenai kembali bangkitnya rezim orde baru. Baik melalui orang
atau kelompok yang dianggap menjadi bagian dari kroni pemerintahan orde baru
atau melalui upaya perubahan yang sistematis. Bahkan kehawatiran menjadi
semakin menguat dan menjadi “amunisi”
untuk membentuk opini di tengah masyarakat menjelang pemilihan presiden dan
wakil presiden untuk periode 2014-2019. Karena kita telah menuliskan sejarah
orde baru di tempat yang penuh “noda”, maka sejarah ini menjadi “manis” untuk
diolah dalam membentuk persepsi calon
pemilih.
Setidaknya ada kondisi sistem
tata negara dan pemerintahan kita
sekarang yang perlu ditelaah untuk menguji validitas opini tersebut. Pertama, kekuasan eksekutif telah
dipangkas otoritasnya baik secara lateral maupun secara vertikal. Secara
lateral, kekuasaan eksekutif terbagi dan dibatasi oleh lembaga legislatif dan
yudikatif. Lembaga legislatif semakin diperkuat wewenangnya melalui penetapan
anggaran, pengawasan dan pembuatan regulasi dan undang-undang. Sementara pada
lembaga-lembaga yudikatif, perannya dalam penagakan hukum juga semakin menguat
dan dijaga independensinya. Di lain sisi, secara vertikal, kekuasaan ekesekutif
juga telah dipangkas melalui otonomi daerah dengan memperluas wewenang dan
memperkuat fungsi pemerintah daerah yang ada.
Kedua, kebebasan pers yang semakin menggeliat dengan pesat dan
memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. Pers telah berhasil menjadi jembatan
antara publik dan kekuasaan melalui pembentukan opini yang dilakukannya. Bahkan
era reformasi telah meniscayakan pers menjadi bagian dari pilar utama
pembangunan sistem demokrasi di Indonesia.
Ketiga, adanya pembagian tugas dan fungsi TNI dan Polri. Kedua
Institusi ini juga tidak diberikan hak politik sebagai mana kelompok warga
negara lainnya. Sehingga, penggunaan kekuatan angkatan bersenjata sebagai alat
mempertahankan kekuasaan sangat kecil kemungkinan untuk terjadi.
Keempat, semakin masifnya upaya pemberantasan korupsi melalui
pencegahan dan penindakan oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi
kita juga melihat adanya arus dukungan yang sangat kuat dari publik yang
menaruh harapan besar kepada lembaga ini. Artinya, di waktu yang akan datang
besar harapan lembaga ini semakin diperkuat.
Setidaknya keempat keadaan
faktual di atas dapat menjadi patokan untuk berpendapat kecilnya kemungkinan
dan peluang rezim orde baru setelah reformasi bangkit kembali. Keadaan-keadaan
tersebut juga mengisyaratkan semakin
menguatnya sistem demokrasi di Indonesia. Meskipun belum dapat kita katakan
bahwa sistem demokrasi yang berlaku telah ideal dan telah mampu mewujudkan
cita-cita luhur bangsa, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Tentu
pula, masih terlalu banyak pekerjaan rumah kita sebagai bangsa untuk mewujudkan
hal itu. Namun, ada setumpuk harapan dan optimisme yang kuat keadaan-keadaan
ideal itu cenderung akan terwujud
dibandingkan dengan kekhawatiran matinya demokrasi dan kembalinya rezim yang
serupa dengan orde baru.
Dengan demikian, kehawatiran
mengenai rezim orde baru bangkit kembali adalah opini dan wacana yang kurang
berdasar. Opini semacam ini, jika tidak dilakukan penelaahan dengan mendalam
dapat menimbulkan kesalahan dan kekeliruan persepsi. Sangat dimengerti, upaya
penggalangan opini menjelang pemilu presiden adalah strategi mendulang suara
pemilih untuk memenangkan pemilihan presiden. Namun, penulis berpendapat,
penyesatan persepsi adalah noda dalam sistem demokrasi. Kita menginginkan
pemilu presiden semakin dijaga kualitasnya yang merupakan upaya dari penguatan
demokrasi itu sendiri. Semua pihak berkepentingan dalam hal ini, anda, saya dan
kita semua.