Selasa, 24 Juni 2014

DAPATKAH REZIM ORDE BARU BANGKIT KEMBALI?



Beberapa kata yang dapat menggambarkan sebagian kekurangan pemerintahan orde baru adalah pemerintahan yang otoriter, sentralistik kekuasaan dan pembangunan, serta maraknya kolusi, korupsi dan nepotisme. Setelah era reformasi hingga kini, masih selalu saja ada kekhawatiran mengenai kembali bangkitnya rezim orde baru. Baik melalui orang atau kelompok yang dianggap menjadi bagian dari kroni pemerintahan orde baru atau melalui upaya perubahan yang sistematis. Bahkan kehawatiran menjadi semakin menguat dan  menjadi “amunisi” untuk membentuk opini di tengah masyarakat menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden untuk periode 2014-2019. Karena kita telah menuliskan sejarah orde baru di tempat yang penuh “noda”, maka sejarah ini menjadi “manis” untuk diolah dalam  membentuk persepsi calon pemilih.

Setidaknya ada kondisi sistem tata negara dan pemerintahan kita  sekarang yang perlu ditelaah untuk menguji validitas opini tersebut. Pertama, kekuasan eksekutif telah dipangkas otoritasnya baik secara lateral maupun secara vertikal. Secara lateral, kekuasaan eksekutif terbagi dan dibatasi oleh lembaga legislatif dan yudikatif. Lembaga legislatif semakin diperkuat wewenangnya melalui penetapan anggaran, pengawasan dan pembuatan regulasi dan undang-undang. Sementara pada lembaga-lembaga yudikatif, perannya dalam penagakan hukum juga semakin menguat dan dijaga independensinya. Di lain sisi, secara vertikal, kekuasaan ekesekutif juga telah dipangkas melalui otonomi daerah dengan memperluas wewenang dan memperkuat fungsi pemerintah daerah yang ada.

Kedua, kebebasan pers yang semakin menggeliat dengan pesat dan memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. Pers telah berhasil menjadi jembatan antara publik dan kekuasaan melalui pembentukan opini yang dilakukannya. Bahkan era reformasi telah meniscayakan pers menjadi bagian dari pilar utama pembangunan sistem demokrasi di Indonesia.

Ketiga, adanya pembagian tugas dan fungsi TNI dan Polri. Kedua Institusi ini juga tidak diberikan hak politik sebagai mana kelompok warga negara lainnya. Sehingga, penggunaan kekuatan angkatan bersenjata sebagai alat mempertahankan kekuasaan sangat kecil kemungkinan untuk terjadi. 

Keempat, semakin masifnya upaya pemberantasan korupsi melalui pencegahan dan penindakan oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi kita juga melihat adanya arus dukungan yang sangat kuat dari publik yang menaruh harapan besar kepada lembaga ini. Artinya, di waktu yang akan datang besar harapan lembaga ini semakin diperkuat.

Setidaknya keempat keadaan faktual di atas dapat menjadi patokan untuk berpendapat kecilnya kemungkinan dan peluang rezim orde baru setelah reformasi bangkit kembali. Keadaan-keadaan tersebut  juga mengisyaratkan semakin menguatnya sistem demokrasi di Indonesia. Meskipun belum dapat kita katakan bahwa sistem demokrasi yang berlaku telah ideal dan telah mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Tentu pula, masih terlalu banyak pekerjaan rumah kita sebagai bangsa untuk mewujudkan hal itu. Namun, ada setumpuk harapan dan optimisme yang kuat keadaan-keadaan ideal itu cenderung  akan terwujud dibandingkan dengan kekhawatiran matinya demokrasi dan kembalinya rezim yang serupa dengan orde baru.  

Dengan demikian, kehawatiran mengenai rezim orde baru bangkit kembali adalah opini dan wacana yang kurang berdasar. Opini semacam ini, jika tidak dilakukan penelaahan dengan mendalam dapat menimbulkan kesalahan dan kekeliruan persepsi. Sangat dimengerti, upaya penggalangan opini menjelang pemilu presiden adalah strategi mendulang suara pemilih untuk memenangkan pemilihan presiden. Namun, penulis berpendapat, penyesatan persepsi adalah noda dalam sistem demokrasi. Kita menginginkan pemilu presiden semakin dijaga kualitasnya yang merupakan upaya dari penguatan demokrasi itu sendiri. Semua pihak berkepentingan dalam hal ini, anda, saya dan kita semua.